Kapitalisme dalam Budaya Membeli Baju untuk Lebaran

Redaksi
Artikel
09 Apr 2024
Thumbnail Artikel Kapitalisme dalam Budaya Membeli Baju untuk Lebaran
Lebaran menjadi salah satu momen keagamaan yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia, momen tersebut biasa dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk bisa bertemu dengan keluarga di tempat mereka berasal atau biasa dikenal dengan istilah mudik. Namun, sebelum mudik biasanya masyarakat akan melakukan sebuah ritual tambahan dengan cara datang ke pusat perbelanjaan dan membeli baju baru yang sedang diskon untuk dipakai saat lebaran. 

Seperti dalam lagu “Baju Baru” yang dibawakan oleh Dhea Ananda dengan lirik “Baju baru Alhamdulillah, tuk dipakai di hari raya”, lirik tersebut seakan menunjukan jika lebaran mengharuskan seseorang untuk mengenakan baju baru atau dalam cakupan yang lebih luas lagi masyarakat diharuskan untuk memiliki sesuatu yang baru untuk dikenakan saat perayaan hari raya atau lebaran. Pemikiran tersebut lah yang membuat akhirnya masyarakat Indonesia saat momen lebaran akan memenuhi seluruh penjuru pusat perbelanjaan yang ada di daerah mereka tinggal. Selain itu juga faktor promosi seperti diskon, beli 1 gratis 1, dan promo-promo lainnya yang diberikan oleh perusahaan akhirnya membuat masyarakat tergiur untuk menikmati promonya. 

Secara tidak langsung budaya membeli baju baru saat lebaran dapat dikatakan sebagai budaya konsumerisme. Apa itu konsumerisme? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumerisme diartikan sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Budaya konsumerisme inilah yang akhirnya membuat seseorang membudidayakan kehidupan yang tidak hemat, konsumerisme membuat seseorang akan mengorbankan segala sesuatu untuk bisa mendapatkan apa yang membuat mereka bahagia, yang dalam konteks ini yaitu barang-barang mewah. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh seorang psikolog sosial asal Belanda bernama Geert Hofstede dalam website hofstede-insights.com, ia telah melakukan beberapa penelitian di semua negara terkait kebudayaan-kebudayaan yang paling menonjol di negara tersebut. Salah satu budaya yang ditelitinya ialah budaya Indulgence. Budaya indulgence merupakan sebuah budaya yang melihat  bagaimana sebuah masyarakat hidup dengan kesenangannya dan seberapa jauh mereka memikirkan gratifikasi keinginan dalam hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukannya di Indonesia, ia menemukan jika skor indulgence yang ada di Indonesia cukup tinggi (38). Skor tersebut menandakan jika masyarakat Indonesia masih melihat jika pembelian hal-hal yang tidak terlalu penting akan membuat mereka senang, jadi dapat disimpulkan memang konsumerisme sudah menjadi tabiat masyarakat Indonesia baik saat momen lebaran atau tidak.

Budaya konsumerisme juga menandakan sebuah masyarakat sudah kembali dijajah oleh sebuah sistem yang dinamakan kapitalisme. Menurut Karl Marx, pengertian kapitalisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan uang secara terus-menerus dan makin bertambah setiap saat. Jika kita melihat bagaimana toko-toko pakaian mengeluarkan strategi berupa promo lebaran sebagai bentuk kapitalisme, berarti kita sebagai masyarakat sudah masuk ke dalam sebuah sistem yang dinamakan kapitalisme itu. Hal itu dikarenakan kita sebagai masyarakat akhirnya mau tidak mau berupaya untuk membeli baju baru saat lebaran, meskipun kita tidak terlalu membutuhkan hal itu. Maka dari itu, konsumerisme yang telah menjadi budaya di Indonesia menandakan jika negara ini telah dijajah oleh sistem yang bernama kapitalis.

Terdapat pula salah satu gagasan yang dikemukakan oleh seorang filsuf yang bernama Herbert Marcuse, ia dikenal dengan salah satu gagasannya yang dikenal “One Dimensional Man” atau Manusia Satu Dimensi. Dalam gagasannya itu, Marcuse mengatakan semenjak manusia mengenal industri modern, manusia tidak lagi memiliki pandangan dimensi kedua dan hanya memiliki pandangan satu dimensi. Pandangan satu dimensi ini membuat akhirnya manusia tidak memiliki pikiran negativisme dan hanya bisa mengafirmasi suatu hal berdasarkan kesenangannya saja dan tidak pada fungsinya, hal itu lah yang membuat Marcuse berpikir jika manusia modern masih dibelenggu oleh penjajahan sistem kapitalis (Marcuse, 2000, dalam Aziz, 2022). 

Biasanya budaya konsumerisme kerap dilakukan oleh anak-anak muda, dengan bantuan digitalisasi sehingga kita sebagai masyarakat dapat melihat bagaimana tren yang sedang ada di seluruh penjuru dunia dan akhirnya berusaha untuk mengikutinya. Pemanfaatan peran digitalisasi terhadap kapitalisme atau yang dikenal juga dengan kapitalisme digital itu lah yang makin membuat anak-anak muda di Indonesia semakin larut dalam budaya konsumerisme. 

Kapitalisme memang merupakan suatu sistem tak bertuan yang memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi seseorang, mereka yang sudah terbiasa dengan sistem kapitalis akan merasa jika memang kapitalisme merupakan cara untuk mereka bisa hidup dengan bahagia di tengah kebebasan yang saat ini mereka rasakan. Marcuse juga mengatakan hal yang serupa, ia mengatakan jika masyarakat yang sudah terbiasa dengan kebebasan yang diberikan oleh kapitalisme akan dibuat menjadi manusia yang pasif dan represif sekaligus, karena menurut mereka hidup dalam sistem yang bernama kapitalis terasa lebih mudah dan menyenangkan daripada kehidupan sebelumnya (Marcuse, 2000, dalam Aziz, 2022).

Perlu diakui memang cara seseorang untuk bahagia berbeda-beda dan tidak ada salahnya jika ia ingin membeli baju saat lebaran, yang menjadi permasalahan adalah jika seseorang justru memilih untuk membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan hanya demi melestarikan budaya saja. Kembali mengutip lirik dari lagu “Baju Baru” yaitu “tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama.” Jadi, tidak ada salahnya untuk menggunakan baju yang sudah ada dan masih layak dipakai ketimbang kita memaksakan membeli barang baru untuk sekedar memenuhi gengsi belaka.

(Hussein)


Daftar Pustaka
Aziz Abdul, A. R. (2022). Perilaku Konsumtif Masyarakat Indonesia Dalam Perspektif Herbert Marcuse. Jurnal Filsafat, Agama Hindu, dan Masyarakat, 5(2).

Hofstede Geert. (2024). Hofstede Insights. Diakses pada Sabtu, 6 April 2024 dari https://www.hofstede-insights.com/ 

LPM Channel

Podcast NOL SKS