Kekuasaan dan Hilangnya Ruang Kritis: Di Mana Kita Bisa Bernapas Bebas?
Menginjak dunia perkuliahan, rasanya semakin sadar bahwa kehidupan ini selalu dipenuhi segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan. Berawal dari kesadaran akan kekuasaan dari lingkup besar, seperti pemerintahan sampai ke lingkup pendidikan pun tetap ada istilah kuasa di sana.
Barangkali seperti ini jika saya jabarkan, pemerintah memiliki kuasa dalam mengatur negara dan masyarakat dengan cara membuat kebijakan, peraturan, bahkan hukum. Mengadili dan menegakkan hukum dengan otoritas yang dimiliki, bahkan sampai melegalisasi tindakan represif. Tak terkecuali, melalui kuasa yang mereka punya, mereka berhasil membuat pendidikan sedemikian rupa sehingga terbentuk citra pemerintahan yang baik.
Di ruang-ruang lingkup lain, kekuasaan yang melekat juga tak jauh berbeda dengan ruang lingkup dalam pemerintahan. Selayaknya kehadiran peraturan yang datang melalui kekuasaan di instansi pendidikan, dengan menentukan nilai, metode pembelajaran, memilah pengetahuan dan lain sebagainya.
Terlalu banyak yang akan saya jabarkan tentang kekuasaan ini, mereka dapat hadir di mana saja dan kapan saja. Meskipun tak dapat dipungkiri, saya setuju dengan kehadiran kekuasaan yang bertujuan untuk keteraturan, mengayomi, melindungi, dan stabilitas. Namun, disisi lain kekuasaan ini juga membuat saya muak karena marak penyalahgunaan kekuasaan.
Kuasa yang memberikan legalisasi untuk melakukan apa saja demi tujuan-tujuan itu membuat timbulnya penyalahgunaan kekuasaan. Akibatnya, tak dapat saya katakan mereka melakukan itu untuk tujuan kekuasaan sebagaimana seharusnya, ini malah bias menjadi usaha mereka untuk mempertahankan kekuasaannya.
Contohnya, di masa pemerintahan Soeharto, terjadi pembungkaman Pers hingga hilangnya transparansi kepada rakyat, boro-boro untuk keteraturan dan mengayomi, semua ini terlihat jelas dilakukan untuk mempertahankan kekuasaannya. Bentuk das sollen (yang diharapkan) dan das sein (kenyataannya) semakin berjarak menjauhi satu sama lain, seolah das sollen hanya akan terus menjadi sesuatu yang dicita-citakan tanpa dapat diwujudkan.
Kritik-kritik yang dilontarkan untuk mengkritisi penyalahgunaan kekuasaan malah diancam dengan segala bentuk cara. Kalau di ruang lingkup pemerintahan biasanya, dengan teror melalui media sosial, pemutusan hubungan kerja melalui relasi yang terjalin, bahkan tak tanggung-tanggung, mereka dapat mendatangi kediaman pribadi sebagai bentuk penekanan.
Di ruang lingkup pendidikan mungkin contohnya, seperti kehadiran peraturan melalui kekuasaan, dengan tujuan tak jauh demi akreditasi yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Barangkali dapat saya ceritakan pula apa yang saat ini tengah terjadi. Di salah satu instansi pendidikan, terjadi pembungkaman terhadap sivitas akademika yang mengkritisi instansi berkaitan.
Pembungkaman ini tak terjadi secara langsung, tetapi melalui tindakan-tindakan penekanan secara tidak langsung, seperti ancaman pembekuan organisasi, penahanan dana organisasi sampai pembubaran organisasi. Miris, padahal kritik-kritik yang disampaikan seharusnya menjadi evaluasi mereka agar dapat memperbaiki kualitas instansi pendidikan. Akan tetapi, daripada evaluasi, justru ancaman yang terciptakan.
Ancaman-ancaman ini sebetulnya timbulkan efek panopticon dengan menghadirkan ketidakpastian di benak semua sivitas akademika, membuat mereka berpikir dua kali dan takut akan kejadian yang berulang sehingga mendisiplinkan diri dan manut melalui pemilihan kosakata lebih lanjut atau bahkan memilih untuk diam sepenuhnya, seolah-olah mereka selalu diawasi. Oleh karena itu, hadirlah kontrol otomatis tanpa perlu sering melakukan penindasan.
Kalau tidak bisa dibina, maka dibinasakan, atau kalian sama saja seperti melempar kotoran ke instansi, katanya. Perlu saya ingatkan, mereka yang berkata demikian adalah pihak-pihak dari instansi pendidikan. Jika di ruang lingkup pendidikan sudah seperti ini, apa bedanya mereka dengan pemerintah? Daripada memberikan pengetahuan dan menjauhkan sivitas akademika dari penyalahgunaan kekuasaan, para penguasa di instansi pendidikan justru malah meniru dan membawa masuk budaya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah. Bukankah akhirnya ini timbulkan pertanyaan, sebenarnya di mana kita bisa bebas berekspresi, mengkritisi dan berpendapat tanpa mendapat penekanan? Apakah kehadiran kekuasaan tak pernah berarti baik?
Para penguasa ini selalu salah mengartikan kritikan sebagai bentuk pencemaran nama baik atau oposisi oportunistik yang mengkritisi hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Mereka tak melihat kehadiran kritikan untuk perbaikan dan pembaharuan, bentuk partisipasi publik, serta menjaga keseimbangan kekuasaan. Jika dipikirkan kembali, kritik lahir dari kepedulian, untuk membangun kesadaran, bukannya malah menimbulkan permusuhan.
Secara spesifik dalam ruang lingkup pendidikan mungkin kehadiran kritik dapat mendorong perbaikan sistem dan kualitas pendidikan. Lagi juga kritik ini bukan tanpa dasar, meski kehadirannya kadang tak menyajikan data yang pasti. Namun, justru hal itu karena semua sivitas akademika sudah tau dan melihat jelas kenyataan yang terjadi.
Jikalau kekuasaan hadir untuk menciptakan keteraturan masyarakat, maka jadilah. Akan tetapi, jika kekuasaan ini justru berpotensi penyalahgunaan maka satu-satunya penawar adalah kesadaran yang dibangun melalui kritik. Hadirlah kekuasaan itu dengan kritik dan tentu dengan kuping, sekaligus raga yang siap untuk mendengar, serta membuat perubahan.
Penulis: Minggu
Desainer: Fathya Salsabilla